Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab, Mengapa Berbeda? Bagaimana Menurut Syari’at?


Menentukan Awal Ramadhan dengan Hilal dan Hisab.

Bulan Ramadhan yang penuh berkah hampir tiba. Umat muslim di seluruh dunia mulai berbahagia dan bersiap menjelang bulan yang mulia ini. Namun setiap kali bulan Ramadhan datang, umat muslim sering sekali kebingungan akan waktu kapan tanggal 1 ramadhan dimulai. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan cara penentuan awal ramadhan. Menentukan awal ramadhan bisa menggunakan dua cara yang dianjurkan dalam syariat, yaitu penentuan awal Ramadhan ditetapkankan melalui metode Rukyat atau dengan melihat hilal (anak bulan) dan penentuan awal Ramadhan ditetapkan melalui metode hisab.

Apakah Rukyat dan Hisab Itu?

Rukyat merupakan kegiatan mengamati penampakan hilal atau anak bulan, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya. Dalam menentukan bulan Ramadhan, apabila Hilal tidak tampak, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari.

Sedangkan Hisab merupakan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.

Penjelasan ini juga terdapat dalam Firman Allah Subhanahu wa ta'ala

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)

Beliau juga bersabda:

“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berlebaran hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)”

Perlu untuk ketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan rukyah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisa. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”

Seperti itulah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka di bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata.

Rukyatlah (melihat hilal) yang menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan puasa menurut syari’at.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.

Hadits-hadits yang sudah diungkapka tersebut menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan rukyat atau melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu” dalam hadits setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada. Hal ini telah menjadi kesepakatan diantara ulama, namun setelah masa abad ke 3 Hijriyah, munculah pendapat yang membolehkan hisab untuk menentukan awal Ramadhan, dan ini pendapat tidak kuat yang menyelisihi mayoritas ulama (Majmu’ Fatawa 25:135)

Adalah Mutharrif bin Sakhir yang berpendapat bolehnya hisab sebagai penentu awal Ramadhan apabila hilal tidak nampak dan bukan menggenapakan hitungan bulan menjadi 30 hari, dalilnya:

“Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata “faqduru lahu” ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena Qadar atau ukuran artinya adalah hitungan. (Bidayatul Mujtahid 2:47)

Namun menurut jumhur ulama, makna “faqduru lahu” bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). (Shahih Fiqh Sunnah 2:91).

Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rays hafizhahullah menyatakan: “orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan secara astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode dalam hal menentukan 1 Ramadhan ini adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
  1. Metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan.
  2. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah.
  3. Para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
Hadists-hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah Subhanahu wa ta'ala telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat. Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah Subhanahu wa ta'ala telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan saat umat Islam menjalankan puasa ramadhan sebulan penuh, Syawal saat umat Islam merayakan hari Raya Idul Fitri, serta Dzulhijjah saat umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.

Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung.

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

Imkanur Rukyat MABIMS adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah.

Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.

Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 2011, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.